Sabtu, 26 Juni 2010

Legenda Magisha

SATU

Hawa terasa semakin memanas di ruangan oval Raja Kal Dera. Bisu hadir menyesakkan dada. Di ujung meja oval besar, di tengah ruangan yang biasa digunakan untuk menjamu tamu kerajaan, duduk satu sosok yang membuat sudut terkelam hati Raja Kal Dera gentar. Tidak. Ia tidak akan membiarkan perasaan itu muncul ke permukaan. Tidak selama ia masih bisa bernapas. Harga dirinya terlalu tinggi untuk membiarkan rakyatnya menggunjingkan bagaimana sang raja lari tunggang langgang menghadapi sosok berlapiskan logam hitam kelam yang berkilauan tertimpa cahaya itu. Sosok yang tanpa sopan santun sedikitpun duduk menumpukan siku kanannya pada meja kebanggaan Raja Kal Dera. Memutar-mutar, dengan kecepatan tinggi, segumpalan kabut hitam yang membentuk bola kecil, sedikit di atas ujung jari tangan kanannya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Bahkan ukiran elang gagah di tengah meja itu pun bagaikan kecut menghadapi topeng hitamnya. Topeng hitam licin yang menyembunyikan wajah si empunya, yang tidak terlihat berniat sedikitpun memperkenalkan wajahnya pada sang tuan rumah. Jubah hitamnya yang menjuntai ke lantai marmer semakin menambah gentar hati sang Raja. Tapi ia takkan lari. Tidak di depan dua belas pengawalnya. Pasukan elit berseragam merah-biru kepercayaannya, jendral-jendral terkuatnya, magisia-magisia tingkat ke tiga, yang baru kali ini saja Raja Kal Dera merasa mereka akan membutuhkan pertarungan yang lama dan melelahkan untuk menundukkan satu mahkluk yang duduk di ujung lain singgasananya ini.

Pedang telah dihunuskan oleh kedua belas jendralnya yang telah berdiri bersiaga sejak sosok itu melenggang masuk, duduk, dan mengatakan hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya di hadapan Raja mereka. Raja Kal Dera, laki-laki dengan jubah merah bermotif keemasan, satu-satunya orang yang duduk di antara mereka. Guratan-guratan wajah sang raja yang mulai termakan usia tak mampu menutupi kegagahan masa lalunya. Satu-satunya pangeran dan manusia di Estevania yang mampu mencapai magisia tingkat ke empat, yang mengantarkannya duduk di singgasana lima belas tahun lalu.

"Jadi, kau datang ke Estevania untuk meminta Mirisium ?", keheningan yang menyesakkan akhirnya dipecahkan oleh suara berat Raja Kal Dera.
"Aku tidak ingat pernah meminta Mirisium kepadamu.", sosok itu berkata sambil terus memainkan bola kabut hitam yang berputar di atas ujung jarinya, "Aku bilang, aku akan mengambil Mirisium dari tempat ini."
"Kau sangat tidak so ..", Vol Kan, jendral ke dua belas, jendral paling muda dan paling cepat naik darah segera maju menerjang. Namun gerakannya terhenti seketika saat Raja Kal Dera dari ujung tinjunya melemparkan sebuah gelombang halus yang dengan cepat melintas di depan Vol Kan, melubangi dinding samping kanan ruang oval. Vol Kan terperangah. Ia berbalik memandang rajanya dengan tatapan tidak setuju, namun wajah muram Raja Kal Dera membuatnya mengurungkan niat untuk menyerang. Dengan hati mendidih, ia diam di tempatnya, menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan makhluk bertopeng hitam itu.

"Mirisium adalah batu suci Kerajaan Estevania. Batu yang akan memancarkan cahaya merah terang saat kejadian buruk akan menimpa Kerajaan Estevania. Dua hari yang lalu batu itu menyala, dan kau datang.", Raja Kal Dera kembali angkat bicara.
"Sudah kubilang ...", belum selesai si topeng hitam berbicara, Raja Kal Dera memotongnya.
"Kau pikir aku akan percaya kata-katamu dan membiarkan kau pergi begitu saja membawa Mirisium ?"
"Percaya atau tidak itu urusanmu."

Cahaya merah muncul dari dalam bola kabut hitam yang berputar cepat di ujung jari sosok itu. Mula-mula redup, namun makin lama makin terang. Si topeng hitam yang menyadari adanya perubahan warna pada bolanya menegakkan duduknya. Cahaya merah semakin terang dan terlihat bagaikan kristal yang indah yang dilingkupi lumpur yang tak mampu menghalangi keindahannya. Raja Kal Dera dapat merasakan sosok itu tersenyum di balik topengnya saat ia membuka telapak tangannya dan bola yang telah berubah menjadi merah terang itu lenyap ke dalam telapaknya.

"Baiklah. Saatnya aku pergi.", kata si topeng hitam sambil beranjak dari tempat duduknya. Namun ia tidak berjalan keluar. Ia mendekati dinding samping yang berlawanan dari dinding yang dilubangi Raja Kal Dera. Ia mengangkat tangan kanannya, merabai dinding itu. Raja Kal Dera dan kedua belas jendralnya masih belum beranjak dari tempatnya, mengamati apayang dilakukan mahkluk berjubah hitam itu. Sosok itu akhirnya menempelkan tangannya di dinding dan tampak mulai mengerahkan kekuatannya.

Dinding itu, bagaikan tunduk kepada si topeng hitam, mulai berubah menjadi transparan dan memperlihatkan ruangan di sebelah, dimana Mirisium terletak. Raja Kal Dera terperangah. Pintu masuk ke ruangan itu ada di kamar pribadi sang raja dan hanya Raja Kal Dera dan leluhurnya yang pernah memasuki ruangan itu. Kuncinya masih tergantung aman di lehernya dan ia tidak pernah berpikir si topeng hitam akan dapat mengambil Mirisium sebelum melangkahi mayatnya. Pintu dan dinding ruangan dibuat dengan batu El Diora, jenis batu terkuat dari benua selatan. Bahkan kekuatan Raja Kal Dera pun tak mampu meninggalkan goresan pada batu itu. Dan jelas bahwa kelakuan si topeng hitam ini tidak lagi bisa dibiarkan, mereka semua merangsek maju.

Ledakan besar yang menghancurkan ruang oval tidak menghalangi prajurit yang berada di luar untuk segera menyerbu masuk. Para prajurit memang sudah siap siaga untuk menyerbu sejak si topeng hitam masuk, namun nyali mereka langsung padam begitu melihat jubah si topeng hitam yang berkibar, dengan santainya melenggang, membelah kerumunan prajurit sambil memegang Mirisium yang memancarkan cahaya terang berwarna merah.

***

2 komentar:

  1. Hawa terasa semakin memanas di ruangan oval Raja Kal Dera. Bisu hadir menyesakkan dada. Di ujung meja oval besar, di tengah ruangan yang biasa digunakan untuk menjamu tamu kerajaan, duduk satu sosok yang membuat sudut terkelam hatinya gentar.

    -nya di "hatinya" itu nggak jelas merujuk pada siapa. Walaupun kamu udah menyebutkan Raja Kal Dera di awal cerita, tapi posisinya masih kurang kuat sebagai subjek, karena seperti nama tempat doang (ruangan oval Raja Kal Dera, tapi apa rajanya sendiri ada di situ?) Coba perkuat lagi posisi Raja Kal Dera sbagai subjek.

    Namun gerakannya terhenti seketika saat Raja Kal Dera dari ujung tinjunya melemparkan sebuah gelombang halus yang dengan cepat melintas di depan Vol Kan, melubangi dinding samping kanan ruang oval.

    Aduh, ini Raja kok hobi amat ngerusak istananya sendiri? Coba diganti deh cara Raja menghentikan jenderalnya yang haus darah itu. Menurutku pribadi sih, kalau Raja bisa menghentikan si jenderal hanya dengan ayunan tangan saja, atau hanya dengan tatapan matanya, tanpa pakai kekuatannya, itu malah lebih menunjukkan wibawanya sebagai raja.

    Raja Kal Dera dapat merasakan sosok itu tersenyum di balik topengnya saat ia membuka telapak tangannya dan bola yang telah berubah menjadi merah terang itu lenyap ke dalam telapaknya.

    Gimana caranya Raja bisa "merasakan" sosok itu tersenyum? Kan topengnya menyembunyikan wajahnya sama sekali? Mungkin lebih bagus kalau dibuat sosok itu pakai topeng yang menyembunyikan wajah atasnya tapi tidak menutupi mulutnya, jadi ekspresi mulutnya bisa terlihat.

    Ledakan besar yang menghancurkan ruang oval tidak menghalangi prajurit yang berada di luar untuk segera menyerbu masuk. Para prajurit memang sudah siap siaga untuk menyerbu sejak si topeng hitam masuk, namun nyali mereka langsung padam begitu melihat jubah si topeng hitam yang berkibar, dengan santainya melenggang, membelah kerumunan prajurit sambil memegang Mirisium yang memancarkan cahaya terang berwarna merah.

    Umm, kalau ada ledakan besar di ruangan oval, gimana dengan nasib Raja dan kedua belas jenderalnya. Terus kerumunan prajurit yang ada di kalimat terakhir itu maksudnya kerumunan prajurit yang baru masuk, atau kerumunan jenderal yang ada di ruangan oval itu?

    Ceritanya udah cukup bagus nih, kecuali di beberapa poin kurang jelas yang kusebutin di atas. Terusin ya, mau tahu ke mana nantinya cerita ini mengalir.

    BalasHapus
  2. -nya di "hatinya" itu nggak jelas merujuk pada siapa. Walaupun kamu udah menyebutkan Raja Kal Dera di awal cerita, tapi posisinya masih kurang kuat sebagai subjek, karena seperti nama tempat doang (ruangan oval Raja Kal Dera, tapi apa rajanya sendiri ada di situ?) Coba perkuat lagi posisi Raja Kal Dera sbagai subjek.

    Ok,corrected :)

    Aduh, ini Raja kok hobi amat ngerusak istananya sendiri? Coba diganti deh cara Raja menghentikan jenderalnya yang haus darah itu. Menurutku pribadi sih, kalau Raja bisa menghentikan si jenderal hanya dengan ayunan tangan saja, atau hanya dengan tatapan matanya, tanpa pakai kekuatannya, itu malah lebih menunjukkan wibawanya sebagai raja.

    Hmmmm, sebenernya bukan hobi kok (lagian kalopun punya hobi ngerusak istana kayaknya gak masalah, toh dia kan raja, duitnya banyak hehehe). Ada 3 alasan yang membuat dia ngga menghentikan jenderal haus darahnya dengan ayunan tangan atau tatapan mata.

    Pertama, si jendral udah keburu merangsek maju untuk menyerang topeng hitam, yang tentunya ayunan tangan dan tatapan mengerikan pun tidak akan menghentikan si jendral haus darah, karena ....... gak keliatan :D, kecuali sang raja ngomong.

    Kedua, si jendral ini kurang ajar. Ngga ada perintah, dan keadaan belum 'benar-benar' mendesak udah maen serbu aja. Ini salah satu pelajaran dari sang raja buat si jendral yang bisa diartikan: 'jangan coba-coba kurang ajar lagi, ane lagi nego nih, begitu ente kurang ajar lagi, ntu gelombang dari ujung tinju ane ga bakal meleset lagi' :D

    Ketiga, dia lagi unjuk gigi sama si topeng hitam. Dengan kata lain, dia mau ngomong, 'emang lu aje yang bise punya kekuatan ? begaye pake muter-muter awan segale ? Gue juga bise niy, ciaaatttt'

    Gimana caranya Raja bisa "merasakan" sosok itu tersenyum? Kan topengnya menyembunyikan wajahnya sama sekali? Mungkin lebih bagus kalau dibuat sosok itu pakai topeng yang menyembunyikan wajah atasnya tapi tidak menutupi mulutnya, jadi ekspresi mulutnya bisa terlihat.

    Hmmmm, mungkin kalimatnya kurang bagus ya. Tapi analoginya kurang lebih begini; pernah ngerasain kalo ada sekelompok orang di depan kita lagi ngomongin kita, padahal kita ngga denger dan ga tau apa yang mereka omongin ? Kira-kira penggambaran yang enak untuk cerita ini gimana ya ?

    Umm, kalau ada ledakan besar di ruangan oval, gimana dengan nasib Raja dan kedua belas jenderalnya. Terus kerumunan prajurit yang ada di kalimat terakhir itu maksudnya kerumunan prajurit yang baru masuk, atau kerumunan jenderal yang ada di ruangan oval itu?

    Kerumunan prajurit yang baru masuk. Gimana nasib raja dan jendral-jendralnya ??? Tunggu tanggal mainnya :D

    Tengkyu udah mampir n kasi komentar. Komentar-komentar selanjutnya sangat ditunggu :)
    m(_,_)m

    BalasHapus