Sabtu, 31 Juli 2010

SATU (Part 3)

Burung-burung begitu cepat membawa kabar ke seluruh penjuru Etherna mengenai penyerangan si topeng hitam di Estevania yang menyebabkan raja dan kedua belas jendralnya habis seketika. Ditambah lagi dengan direbutnya Mirisium, Estevania benar-benar terpuruk dan dipermalukan habis-habisan. Dan yang paling penting, kekuatan Estevania saat ini benar-benar berada di titik nadir. Ini kesempatan. Dan Jotu tidak ingin kesempatan ini hilang sia-sia.

Patung batu Ratu Helena menatapnya dingin saat Jotu meletakkan tangannya pada batu yang memancarkan warna kuning keemasan yang dikalungkan di leher Ratu Helena. Kekuatan baru terasa mengalir dari batu itu ke seluruh tubuhnya saat ia menggenggamnya. Bahkan aliran energi itu terasa hingga ujung rambutnya yang tergerai hampir mencapai punggung. Kedua sudut bibir laki-laki itu naik ke atas. Girilium sudah ada dalam genggamannya. Latihan keras bertahun-tahun terbayar sudah. Akhirnya ia mampu menghancurkan pintu masuk ke ruang patung Ratu Helena. Pintu yang terbuat dari batu El Diora. Dengan sekali renggut, Girilium sudah berpindah tangan. Jotu mengalungkan batu itu di lehernya sendiri dan merasakan aliran kekuatan yang baru, yang sangat besar, mengalir terus-menerus ke dalam tubuhnya. Tapi, seberapa besarkah kekuatan ini ? Jotu tak sabar untuk mencobanya. Dikerahkannya kekuatan dari pusat tubuhnya. Ia merasakan pusaran-pusaran energi yang jauh lebih perkasa dibandingkan sebelumnya, mendesak keluar dari dalam tubuhnya. Jotu berbalik membelakangi patung Ratu Helena dan mulai merentangkan tangannya. Dengan sekali hentakan, seluruh gelombang energi dalam tubuhnya bagaikan melesat keluar dari tinjunya.

Suara ledakan dan serpihan-serpihan El Diora yang melesat ke mana-mana menghentikan pertarungan seru yang terjadi di luar kuil, saat kuil tersebut masih ada. Prajurit-prajurit rendahan yang tidak mampu, apalagi sempat, melindungi diri mereka dari serpihan El Diora langsung berjatuhan. Menyisakan prajurit-prajurit menengah dan jenderal-jenderal yang berlindung di balik tameng-tameng bulat serta dengan ayunan pedang atau tombak mereka. Debu mengepul dari tempat dimana sebelumnya kuil itu berdiri, menghalangi pandangan orang-orang pada apa yang telah terjadi. Jotu mengepalkan kedua tangannya dan seketika debu yang berhamburan saling menyatu dan memadat, kemudian turun menyatu dengan tanah hingga ia bisa melihat jelas mimik seseorang yang menatapnya dengan api kemarahan, yang saat ini Jotu hampir yakin, separuhnya telah berganti ketakutan.

"Sekarang kau tak akan bisa menghentikanku lagi," Jotu berseru dingin, "Ayah."
Jorte, Raja Magnolia yang perkasa, orang yang dipanggil ayah oleh Jotu, menurunkan pedangnya, tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Apa yang membuatmu jadi pengecut, Ayah ?" seru Jotu lagi, "sekarang saatnya rakyat kita bisa menuju kemakmuran! Dengan rakyat yang semakin banyak ini, kita tidak akan mungkin terus berpindah-pindah. Bayangkan hasil tambang yang melimpah, kita akan jadi bangsa yang paling makmur di Etherna. Bahkan kita bisa menyatukan seluruh Etherna di bawah kekuasaan kita, yang kita mulai dari Estevania!"
Barisan prajurit kedua kubu mulai beringsut ke pinggir, memberikan ruang ayah dan anak itu untuk saling berhadapan.
"Anak bodoh!!!!" api kemarahan mulai menyala lagi di mata sang raja yang telah menampakkan kelelahannya bertarung dengan usia.
"Mengapa kau tidak pernah sependapat denganku, Ayah ?"
"Kau tidak akan punya kesempatan menang bila makhluk hitam itu tidak menghancurkan Estevania! Dan makhluk itu begitu saja meninggalkan Estevania setelah mendapatkan Mirisium. Tidakkah kau lihat ancaman yang lebih buruk di depan mata ?"
"Ancaman apa ? Kau tentu lihat bagaimana El Diora ini kubuat hancur berkeping-keping ?"
"Kau masih belum sadar juga ? Lihatlah ke belakangmu !"

Perintah Jorte mau tidak mau membuat Jotu mengangkat sebelah alisnya. Setelah Jotu meyakinkan dirinya sendiri tidak ada tipuan yang dilancarkan oleh Jorte, perlahan ia menoleh ke belakang dan menemukan tatapan patung batu Ratu Helena yang ia rasakan semakin dingin menusuk. Jotu terperangah. Ia berbalik dan meraba dinginnya batu di hadapannya itu. Patung Ratu Helena benar-benar sempurna, tak ada cacat sedikit pun.

"Berikan Girilium itu padaku!" titah sang raja menyadarkan Jotu.
Jotu berbalik, kembali menghadapi ayahnya.
"Ambil sendiri kalau kau mampu!"

Ujung pedang Raja Jorte hanya tinggal berjarak sejengkal dari wajah Jotu saat Jotu menyelesaikan sesumbarnya. Namun pedang yang dilemparkan oleh Raja Jorte hanya membentur patung batu Ratu Helena dan terpental. Jotu menghindar di saat yang tepat. Namun serangan belum usai. Ratusan bongkahan batu sebesar kepalan tangan berterbangan dari tanah menuju dirinya bagaikan namanya telah tertulis di batu-batu itu. Jotu mengerahkan gelombang energinya untuk membuat perisai energi yang mementalkan serangan ayahnya. Sayangnya, sang pangeran yang kalah pengalaman tidak melihat ancaman yang sebenarnya di balik bongkahan batu. Ayahnya sudah berada di sebelah kanannya, dan tinju kiri ayahnya yang disertai gelombang energi masuk dengan telak di rusuk kanannya. Jotu terpental kesakitan, ia langsung memusatkan energi di rusuk kanannya, mencegah rusuknya remuk. Belum sempat ia bernafas, batu-batu runcing bagaikan mata tombak menyertai tinju kanan Jorte menuju ke arahnya. Jotu mengerahkan seluruh energinya di telapak tangan, dan dengan gerakan menarik ke atas, bongkahan tanah besar berbentuk persegi naik menghalangi serangan Jorte. Bunyi tumbukan yang keras menyertai hancurnya batu-batu mata tombak Jorte. Tidak ingin kehilangan kesempatan, Jotu menendang bongkahan batu perseginya, membuat bongkahan itu melesat dengan kecepatan tinggi ke arah Jorte. Jorte melentingkan tubuhnya ke atas. Bongkahan persegi itu lewat dengan mulus di bawahnya, membunuh seketika prajurit-prajurit malang yang tidak sempat menghindar. Api murka tampak di wajah sang ayah saat ia mengerahkan kekuatan di udara. Ratusan batu berbentuk mata panah melesat dari tanah di bawah Jorte menuju ke arah Jotu. Jarak yang terlalu dekat membuat Jotu menyesal telah menendang bongkahan batu perseginya. Ia hanya sempat mengerahkan perisai energi setelah sekitar lima puluhan batu mata panah menggores dan melukai tubuhnya. Sadar perisainya tidak akan bertahan lama, Jotu menghentakkan kakinya dan melompat ke atas, berniat menghadapi ayahnya di udara. Seringai tipis di wajah Jorte menyertai ribuan batu mata panah yang melesat dari tanah menuju ke atas, tepat ke arah Jotu. Jotu sekali lagi menyesali langkahnya, melompat ke udara. Perisai energinya tak akan cukup kuat menahan ratusan batu mata panah, apalagi ribuan, dan tanah terlalu jauh berada di bawahnya untuk digunakan sebagai pertahanan. Dalam keadaan terdesak dan tak tahu harus berbuat apa lagi, Jotu merasakan aliran energi yang sangat deras masuk ke tangannya. Girilium di lehernya bersinar terang memasok energi yang ia rasakan seperti saat menghancurkan El Diora. Tanpa ragu-ragu lagi, Jotu melepaskan energi yang terkumpul di tangannya. Sebuah batu berbentuk mata tombak sebesar batang pohon muncul dari udara kosong, melesat menyongsong batu mata panah Jorte. Batu-batu mata panah Jorte bagaikan terserap ke mata tombak Jotu yang semakin membesar saat bersentuhan dengan batu-batu mata panah dan menuju tepat ke arah Jorte yang masih melayang di udara. Jorte yang tidak mungkin menghindar lagi mengerahkan usaha terakhir. Perisai energi.

Tumbukan mata tombak sebesar pohon itu sempat melubangi perisai energi Jorte sebelum hilang menjadi debu. Jorte tidak terluka, namun akibat tumbukan itu cukup membuatnya terpental puluhan tombak dari tempatnya semula, walaupun sang raja masih menjaga wibawanya dengan tetap menapak dengan dua kakinya di tanah. Jotu juga terpental dan ia terpental lebih jauh dibandingkan Jorte. Pengerahan energi yang membuatnya menghasilkan mata tombak sebesar pohon dari udara kosong itu terlalu besar untuk ia kendalikan. Jotu terpelanting dan terguling-guling di tanah. Tangannya bergetar hebat. Seluruh tubuhnya terasa remuk. Namun ia masih sadar. Dan ia menyadari, satu-satunya jalan saat ini untuk tetap hidup adalah lari. Dengan susah payah ia berdiri dan sekuat tenaga melentingkan dirinya sendiri keluar dari arena pertarungan, menuju ke utara.

***

Selasa, 29 Juni 2010

SATU (part 2)

Dua ratus lima puluh tahun berlalu sejak Magisha menjadi legenda. Tidak banyak yang berubah di Etherna. Ujung benua utara yang dingin dikuasai oleh Kerajaan Estevania. Lebih ke selatan terdapat padang rumput Magnolia yang luas, tanah kaum Barbaria yang hidup berpindah-pindah. Ke arah tenggara, hutan lebat Eberus yang lebih dikenal dengan Hutan Raja Perampok. Benua utara dan benua selatan terpisah oleh laut Vell, yang diklaim sebagai milik Kerajaan Orsenia dari benua selatan. Kerajaan Orsenia sendiri berbatasan dengan Kerajaan Almars yang menguasai daerah paling selatan. Sisanya kerajaan-kota dan desa-desa kecil yang tersebar di seluruh penjuru Etherna. Kerajaan dan desa yang jaraknya terlalu jauh untuk masuk dalam pengaruh kekuatan-kekuatan besar di Etherna.

Dua ratus lima puluh tahun yang lalu, Ratu Helena dari Orsenia mencapai tingkat tertinggi yang diimpikan setiap magisia, manusia yang memiliki kemampuan mengendalikan tenaga yang ada dalam dirinya dan alam sekitarnya. Kemampuan ini didapatkan secara turun temurun dan hanya keluarga dan kerabat raja yang memilikinya. Ada sepuluh tingkatan pada magisia, dan Ratu Helena adalah magisia tingkat ke sepuluh yang lebih dikenal sebagai Magisha. Kemampuan dan kepahlawanannya menjadi legenda yang turun-temurun diceritakan hingga saat ini, mengalahkan Kaisar Rudd yang berwujud monster dari benua timur, Nervana. Nervana pada hakikatnya adalah sebuah pulau di sebelah timur jauh hutan Eberus, namun bayang-bayang kelam kekuatan Kaisar Rudd menimbulkan persepsi di benak setiap manusia Etherna bahwa Nervana adalah daratan yang sangat luas. Namun itu hanyalah cerita karena tidak ada seorangpun manusia di benua utara dan selatan yang pernah menjejakkan kakinya di Nervana. Jalan menuju Nervana harus melewati padang pasir tandus dan menyeberangi selat Simeria, dan setelah itu berhadapan dengan hutan Vestra yang dihuni oleh monster-monster buas. Sampai di sinilah cerita-cerita orang berhenti. Tidak pernah ada cerita mengenai manusia yang berhasil melewati Vestra dan kembali.

Kaisar Rudd datang dari Nervana di balik hutan Vestra. Ia bertempur dan dikalahkan oleh Ratu Helena dalam pertempuran sengit di padang Magnolia. Di saat-saat terakhirnya, Kaisar Rudd melepaskan serangan terakhirnya, batu-batu api yang berdatangan dari angkasa, sebelum akhirnya tewas. Ratu Helena yang sudah kehabisan tenaga, dibantu oleh empat raja dari benua utara dan selatan, Estevania, Magnolia, Orsenia, dan Almars yang juga merupakan magisia, membentuk perisai raksasa yang melingkupi Etherna. Sepasang sayap keluar dari punggung Ratu Helena saat ia mengerahkan tenaga terakhirnya untuk membuat perisai itu, dan kemudian Ratu Helena perlahan melayang ke atas, diikuti oleh keempat raja, makin lama makin tinggi hingga setinggi seratus tombak, dan ia bagaikan tergantung di udara kosong saat perisainya mulai muncul melindungi Etherna. Batu-batu api dari angkasa itu terkikis dan memercikkan api, menimbulkan fenomena indah berwarna warni bagaikan kembang api di angkasa saat menyentuh perisai Ratu Helena. Tidak ada satupun batu api yang menyentuh tanah Etherna. Namun hal itu harus dibayar mahal oleh Ratu Helena. Perisai yang dibuatnya menyerap energi kehidupannya, dan Ratu Helena mulai membatu, dimulai dari kakinya dan perlahan merambat ke atas. Saat seluruh batu api terkikis habis, seluruh bagian tubuh Ratu Helena telah membatu. Keempat raja membawanya turun dan membuatkan sebuah kuil, tepat di bawah Ratu Helena sebelumnya melayang, sebagai penghormatan bagi Ratu Helena. Mereka menempatkan Ratu Helena yang telah membatu di dalam kuil yang masih bisa kita lihat hingga sekarang di tengah-tengah padang rumput Magnolia.

Sabtu, 26 Juni 2010

Legenda Magisha

SATU

Hawa terasa semakin memanas di ruangan oval Raja Kal Dera. Bisu hadir menyesakkan dada. Di ujung meja oval besar, di tengah ruangan yang biasa digunakan untuk menjamu tamu kerajaan, duduk satu sosok yang membuat sudut terkelam hati Raja Kal Dera gentar. Tidak. Ia tidak akan membiarkan perasaan itu muncul ke permukaan. Tidak selama ia masih bisa bernapas. Harga dirinya terlalu tinggi untuk membiarkan rakyatnya menggunjingkan bagaimana sang raja lari tunggang langgang menghadapi sosok berlapiskan logam hitam kelam yang berkilauan tertimpa cahaya itu. Sosok yang tanpa sopan santun sedikitpun duduk menumpukan siku kanannya pada meja kebanggaan Raja Kal Dera. Memutar-mutar, dengan kecepatan tinggi, segumpalan kabut hitam yang membentuk bola kecil, sedikit di atas ujung jari tangan kanannya tanpa menyentuhnya sedikitpun. Bahkan ukiran elang gagah di tengah meja itu pun bagaikan kecut menghadapi topeng hitamnya. Topeng hitam licin yang menyembunyikan wajah si empunya, yang tidak terlihat berniat sedikitpun memperkenalkan wajahnya pada sang tuan rumah. Jubah hitamnya yang menjuntai ke lantai marmer semakin menambah gentar hati sang Raja. Tapi ia takkan lari. Tidak di depan dua belas pengawalnya. Pasukan elit berseragam merah-biru kepercayaannya, jendral-jendral terkuatnya, magisia-magisia tingkat ke tiga, yang baru kali ini saja Raja Kal Dera merasa mereka akan membutuhkan pertarungan yang lama dan melelahkan untuk menundukkan satu mahkluk yang duduk di ujung lain singgasananya ini.

Pedang telah dihunuskan oleh kedua belas jendralnya yang telah berdiri bersiaga sejak sosok itu melenggang masuk, duduk, dan mengatakan hal yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya di hadapan Raja mereka. Raja Kal Dera, laki-laki dengan jubah merah bermotif keemasan, satu-satunya orang yang duduk di antara mereka. Guratan-guratan wajah sang raja yang mulai termakan usia tak mampu menutupi kegagahan masa lalunya. Satu-satunya pangeran dan manusia di Estevania yang mampu mencapai magisia tingkat ke empat, yang mengantarkannya duduk di singgasana lima belas tahun lalu.

"Jadi, kau datang ke Estevania untuk meminta Mirisium ?", keheningan yang menyesakkan akhirnya dipecahkan oleh suara berat Raja Kal Dera.
"Aku tidak ingat pernah meminta Mirisium kepadamu.", sosok itu berkata sambil terus memainkan bola kabut hitam yang berputar di atas ujung jarinya, "Aku bilang, aku akan mengambil Mirisium dari tempat ini."
"Kau sangat tidak so ..", Vol Kan, jendral ke dua belas, jendral paling muda dan paling cepat naik darah segera maju menerjang. Namun gerakannya terhenti seketika saat Raja Kal Dera dari ujung tinjunya melemparkan sebuah gelombang halus yang dengan cepat melintas di depan Vol Kan, melubangi dinding samping kanan ruang oval. Vol Kan terperangah. Ia berbalik memandang rajanya dengan tatapan tidak setuju, namun wajah muram Raja Kal Dera membuatnya mengurungkan niat untuk menyerang. Dengan hati mendidih, ia diam di tempatnya, menunggu saat yang tepat untuk menghancurkan makhluk bertopeng hitam itu.

"Mirisium adalah batu suci Kerajaan Estevania. Batu yang akan memancarkan cahaya merah terang saat kejadian buruk akan menimpa Kerajaan Estevania. Dua hari yang lalu batu itu menyala, dan kau datang.", Raja Kal Dera kembali angkat bicara.
"Sudah kubilang ...", belum selesai si topeng hitam berbicara, Raja Kal Dera memotongnya.
"Kau pikir aku akan percaya kata-katamu dan membiarkan kau pergi begitu saja membawa Mirisium ?"
"Percaya atau tidak itu urusanmu."

Cahaya merah muncul dari dalam bola kabut hitam yang berputar cepat di ujung jari sosok itu. Mula-mula redup, namun makin lama makin terang. Si topeng hitam yang menyadari adanya perubahan warna pada bolanya menegakkan duduknya. Cahaya merah semakin terang dan terlihat bagaikan kristal yang indah yang dilingkupi lumpur yang tak mampu menghalangi keindahannya. Raja Kal Dera dapat merasakan sosok itu tersenyum di balik topengnya saat ia membuka telapak tangannya dan bola yang telah berubah menjadi merah terang itu lenyap ke dalam telapaknya.

"Baiklah. Saatnya aku pergi.", kata si topeng hitam sambil beranjak dari tempat duduknya. Namun ia tidak berjalan keluar. Ia mendekati dinding samping yang berlawanan dari dinding yang dilubangi Raja Kal Dera. Ia mengangkat tangan kanannya, merabai dinding itu. Raja Kal Dera dan kedua belas jendralnya masih belum beranjak dari tempatnya, mengamati apayang dilakukan mahkluk berjubah hitam itu. Sosok itu akhirnya menempelkan tangannya di dinding dan tampak mulai mengerahkan kekuatannya.

Dinding itu, bagaikan tunduk kepada si topeng hitam, mulai berubah menjadi transparan dan memperlihatkan ruangan di sebelah, dimana Mirisium terletak. Raja Kal Dera terperangah. Pintu masuk ke ruangan itu ada di kamar pribadi sang raja dan hanya Raja Kal Dera dan leluhurnya yang pernah memasuki ruangan itu. Kuncinya masih tergantung aman di lehernya dan ia tidak pernah berpikir si topeng hitam akan dapat mengambil Mirisium sebelum melangkahi mayatnya. Pintu dan dinding ruangan dibuat dengan batu El Diora, jenis batu terkuat dari benua selatan. Bahkan kekuatan Raja Kal Dera pun tak mampu meninggalkan goresan pada batu itu. Dan jelas bahwa kelakuan si topeng hitam ini tidak lagi bisa dibiarkan, mereka semua merangsek maju.

Ledakan besar yang menghancurkan ruang oval tidak menghalangi prajurit yang berada di luar untuk segera menyerbu masuk. Para prajurit memang sudah siap siaga untuk menyerbu sejak si topeng hitam masuk, namun nyali mereka langsung padam begitu melihat jubah si topeng hitam yang berkibar, dengan santainya melenggang, membelah kerumunan prajurit sambil memegang Mirisium yang memancarkan cahaya terang berwarna merah.

***